
Mengenal SIGRA Kabupaten Magetan
SIGRA merupakan akronim dari Saluran Informasi Gratifikasi) Kabupaten Magetan. Sebagai inovasi yang dikembangkan oleh Tim UPG / Inspektorat menyedian informasi mencakup kegiatan diseminasi, sistem pelaporan gratifikasi, deteksi pencegahan gratifikasi, monitoring dan evaluasi dari program pengendalian gratifikasi dengan menyediakan informasi yang memadai seputar:
a. Regulasi Program Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Pemkab Magetan
b. Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Magetan)
c. Rencana Kerja Tim UPG
d. Ajakan / Seruan untuk menolak dan/atau melaporkan gratifikasi
e. Pelaporan Gratifikasi secara online ke tim UPG Magetan
f. Kumpulan materi dasar anti korupsi dan pengendalian gratifikasi
g. Aksi Pengendalian Gratifikasi
Inovasi ini dapat diakses pada: https://inspektorat.magetan.go.id/sigra-magetan/. Sebagai pengguna layanan, OPD dan Masyarakat dapat mengakses dengan mudah, kapanpun dan dimanapun. Didukung dengan tampilan menarik dan semua informasi terletak pada satu laman memudahkan pengguna layanan untuk melihat dan mengakses informasi pengendalian gratifikasi. Selain itu, tersedianya pelaporan secara online, mempermudah pelaporan secara mandiri maupun kolektif OPD terkait penerimaan maupun penolakan gratifikasi.
Inovasi SIGRA Magetan merupakan modifikasi dengan mengoptimalkan fungsi website pada Instansi Pemerintah dengan menggunakan laman website dengan menyediakan informasi yang lengkap dan memadai seputar pengendalian gratifikasi.
Keberlanjutan SIGRA Magetan dapat dilakukan dengan memperbarui konten informasi pengendalian gratifikasi dengan up to date terhadap informasi seputar pengendalian gratifikasi. Selain itu, dapat dilakukan pelatihan terhadap admin website agar meningkatkan kemampuan operasional website. Disisilain, pemeliharaan website dan deteksi ancaman virus pada website juga dilakukan dengan berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Web Master yang berada di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Magetan.
Apa yang dimaksud Gratifikasi?
Gratifikasi adalah semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara (Pn/PN). Oleh karena itu gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tidak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau sesuatu yang salah.
Gratifikasi adalah “pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.
Penjelasan Pasal 12B UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Apa kriteria gratifikasi yang dilarang?
Gratifikasi yang dilarang yaitu:
1. Gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan
2. Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak wajar.
Siapa saja yang dimaksud dengan Pegawai Negeri?
Gratifikasi yang dilarang yaitu:
Kebanyakan orang awam beranggapan bahwa yang dimaksud Pegawai Negeri
hanyalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), padahal Undang-Undang mengatur lebih luas
bahwa Pegawai Negeri meliputi:1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang saat ini disebut Aparatur Sipil Negara (ASN)
2. Pejabat publik (pemangku jabatan/ambtenaar) yaitu:
a. Orang yang memegang jabatan atau profesi yang diangkat oleh instansiumum atau kekuasaan umum atau kekuasaan negara
b. Orang yang memangku jabatan umum
c. Orang yang melakukan tugas negara atau sebagian tugas negara
3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pasal 1 angka 2 UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Siapa saja yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara?
Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, contohnya :
• Presiden dan Wakil Presiden;
• Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
• Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
• Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah;
• Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung
serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
• Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi;
• Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
• Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial;
• Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
• Menteri dan jabatan setingkat menteri;
• Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
• Gubernur dan Wakil Gubernur;
• Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
• Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang
• Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar
Biasa dan berkuasa penuh, Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota;
• Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah;
• Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
• Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
• Jaksa;
• Penyidik;
• Panitera Pengadilan;
• Pemimpin dan Bendaharawan Proyek;
• Pejabat Pembuat Komitmen;
• Panitia Pengadaan, Panitia Penerima Barang.
UU No. 28/1999, UU No. 5/2014 dan peraturan terkait lainnya.
Apa yang menjadi dasar pengaturan gratifikasi bagi Pn/PN?
Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001. Namun, jika penerima gratifikasi melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Pn/PN dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.
Berikut adalah pasal yang mengatur tentang gratifikasi:Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12C(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Apa saja gratifikasi yang boleh diterima?
Pada dasarnya, semua gratifikasi yang diterima oleh Pn/PN wajib dilaporkan pada
KPK, kecuali:
a. pemberian dalam keluarga yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
b. keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
c. manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan, yang berlaku umum;
d. perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum;
e. hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum;
f. hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan;
g. penghargaan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards, atau suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan;
i. kompensasi atau honor atas profesi diluar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan;
j. kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima Gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik benturan kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima;
k. karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong
gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan;
l. pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap pemberi;
m. pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima Gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua, dan/atau menantu penerima Gratifikasi sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau
kepatutan;
n. pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
o. pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama;
p. pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum; dan
q. pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Bagaimana karakteristik gratifikasi yang boleh diterima?
Gratifikasi yang boleh diterima memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Berlaku umum, yaitu suatu kondisi pemberian yang diberlakukan sama dalam hal jenis, bentuk, persyaratan atau nilai, untuk semua peserta dan memenuhi prinsip kewajaran atau kepatutan;
b) Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah-tamahan, penghormatan dalam hubungan sosial antar sesama dalam batasan nilai yang wajar; atau,
d) Merupakan bentuk pemberian yang berada dalam ranah adat istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di masyarakat dalam batasan nilai yang wajar.
Apa saja gratifikasi yang tidak boleh diterima?
Gratifikasi yang tidak boleh diterima adalah gratifikasi terlarang, yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah contoh gratifikasi yangtidak boleh diterima :
a. terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah;
b. terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah;
c. terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah;
d. terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari Instansi;
e. dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;
f. dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;
g. sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain;
h. sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa;
i. merupakan hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas;
j. merupakan fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh Pejabat/Pegawai dalam kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima;
k. dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan;
l. dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas Pejabat/Pegawai;
m. dan lain sebagainya.
Apa yang dilakukan jika pegawai negeri/penyelenggara negara diberi gratifikasi yang dilarang?
Tindakan yang harus dilakukan adalah
MENOLAK PEMBERIAN tersebut.
Jika pada kondisi tertentu pegawai negeri/penyelenggara negara tidak dapat menolaknya, misalnya gratifikasi disampaikan melalui perantara istri/suami/anak, identitas
pemberi tidak diketahui, atau demi menjaga
hubungan baik dengan pemberi, maka pegawai negeri/penyelenggara negara wajib MELAPORKAN PENERIMAAN GRATIFIKASI tersebut kepada KPK dalam waktu maksimal 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan.
Penolakan terhadap gratikasi akan membangun
kebiasaan dan budaya anti gratifikasi.
Bagaimana jika saya tidak meminta gratifikasi, namun masih tetap diberi, bolehkah saya menerimanya?
Jika pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan kita atau ada ketentuan yang melarang, maka pemberian tersebut harus DITOLAK, walaupun kita tidak memintanya. Jika pada keadaan tertentu kita tidak dapat menolaknya, seperti dikirimkan ke rumah, diberikan melalui anggota keluarga, atau untuk menjaga hubungan baik antar lembaga, maka pemberian tersebut wajib DILAPORKAN kepada KPK.
Jika gratifikasi tidak mempengaruhi keputusan saya, apakah saya masih dilarang untuk menerimanya?
Ya, dilarang.
Pemberian gratikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung, namun cenderung sebagai “tanam budi” atau upaya menarik perhatian pejabat.
Ketentuan tentang gratikasi hanya mensyaratkan adanya hubungan jabatan dan pelanggaran terhadap aturan, kode etik atau kepatutan.
Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi keputusan dan bersifat transaksional maka hal itu merupakan suap.
Apa perbedaan antara gratifikasi, suap dan pemerasan?
Secara sederhana gratifikasi tidak membutuhkan sesuatu yang transaksional atau ditujukan untuk mempengaruhi keputusan atau kewenangan secara langsung. Hal ini berbeda dengan suap yang bersifat transaksional.
Sedangkan pidana pemerasan, inisiatif permintaan dan paksaan berasal dari Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Pada pidana pemerasan yang dihukum pidana hanyalah pihak penerima saja.
Apakah pelapor gratifikasi dilindungi secara hukum?
Pelapor gratifikasi berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk tekanan akibat laporan yang disampaikan. Perlindungan dilakukan oleh KPK mulai dari perlindungan kerahasiaan informasi Pelapor (identitas Pelapor) dan dapat bekerjasama dengan LPSK atau institusi lain yang berwenang.
Apakah pemberi gratifikasi diberi sanksi?
Tidak semua pemberi gratifikasi dapat diberikan sanksi, kecuali memenuhi unsur tindak pidana suap.
Ketentuan ini diatur pada UU Tipikor Pasal 5 ayat (1) dengan ancaman hukuman penjara antara 1 sampai 5 tahun dan Pasal 13 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 3 tahun.
Apakah pemberi gratifikasi diberi sanksi?
Tidak semua pemberi gratifikasi dapat diberikan sanksi, kecuali memenuhi unsur tindak pidana suap.
Ketentuan ini diatur pada UU Tipikor Pasal 5 ayat (1) dengan ancaman hukuman penjara antara 1 sampai 5 tahun dan Pasal 13 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 3 tahun.
Selengkapnya Baca : FAQ GOL KPK